Keraton kasepuhan Cirebon terletak di Jalan Keraton Kasepuhan No.
43, Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, Provinsi
Jawa Barat, Indonesia. Keraton Kasepuhan Cirebon merupakan tapak sejarah
penting. Ia merupakan pusat pemerintahan sekaligus pusat penyebaran
Islam di Jawa Barat. Mula-mula keraton kaepuhan Cirebon ini didirikan
oleh Pangeran Cakrabuwana dengan nama Keraton Pakungwati, kemudian
diperluas dan diperbaharui oleh Sunan Gunung Jati pada 1483 M. saat ini,
keraton masih tetap lestari, terjaga dan terawat dengan segala
peninggalannya dan arsitektur yang bernilai tinggi.
Seperti daerah pesisir umumnya, Pelabuhan Cirebon pada masa lalu
dikenal sebagai pusat perdagangan internasional. Kota Cirebon pun banyak
disinggahi para pedagang dan saudagar. Menurut catatan, sebutan Cirebon
berasal dari kata “caruban” yang artinya campuran. Sebab kala itu,
banyak pedagang dan saudagar dari berbagai bangsa yang berbaur dan
menetap di kota itu. Kemudian terciptalah akulturasi budaya.
Untuk lebih lengkapnya akan di jelaskan berikutmya.
a. Arsitektur Keraton Kasepuhan Cirebon
Bangunan arsitektur dan interior Keraton Kasepuhan menggambarkan
berbagai macam pengaruh, mulai dari gaya Eropa, Cina, Arab, maupun
budaya lokal yang sudah ada sebelumnya, yaitu Hindu dan Jawa. Semua
elemen atau unsur budaya di atas melebur menjadi satu pada bangunan
Keraton Kasepuhan tersebut.
Pengaruh Eropa tampak pada tiang-tiang bergaya Yunani, sejenis
Dorik yang digunakan pada bangunan pendopo Pancaniti. Bangunan tersebut
letaknya di bagian depan sebelah kanan.
Tiangnya berbentuk bulat atau silindris serta mengecil pada bagian
ujungnya. Pada bagian bawah serta atas, tiang diberi hiasan tambahan
sederhana berbentuk persegi. Fungsinya sebagai hiasan maupun penyangga
konstruksi. Ukurannya sedang dan cenderung kurang proporsional untuk
ukuran bangunan Pancaniti yang relatif kecil.
Tiang semacam di atas terdapat juga pada bangunan Jinem Pangrawit,
Jinem Arum yang terletak di samping bangunan utama maupun bangsal Gajah
Nguling. Bahkan, tiang yang terdapat di Jinem Pangrawit terdiri atas dua
jenis, yaitu yang berbentuk bulat dan segidelapan. Masing-masing diberi
hiasan berupa cembungan vertikal di sekeliling badannya serta hiasan
alas dan kepala yang indah. Di seluruh permukaan badan tiang bulat
diberi hiasan cembung kecil-kecil mengitari seluruh badannya. Alasnya
berupa bentuk persegi, tetapi hiasan kepalanya cukup indah, berupa
piringan tiga tumpuk dengan pinggiran bergerigi cembung.
Selanjutnya, pada bangunan Gajah Nguling, yaitu semacam koridor
terbuka yang menghubungkan bangsal Jinem Pangrawit dengan bangsal
Pringgondani, terdapat enam buah tiang yang berbentuk bulat sama seperti
tiang yang terdapat di bangsal Jinem Pangrawit. Yang menarik, seluruh
tiang tersebut digunakan untuk menyangga konstruksi atap dari kayu
bergaya arsitektur Jawa. Sehingga kesannya kurang cocok karena
tiang-tiangnya terlalu kokoh dan kesannya berat.
Arsitektur gaya Eropa lainnya berupa lengkungan ambang pintu
berbentuk setengah lingkaran yang terdapat pada bangunan Lawang Sanga
(pintu sembilan). Masing-masing dari ketiga sisinya memiliki tiga
lengkungan yang berangkai. Bangunan tersebut letaknya di luar kompleks
keraton, bercampur dengan rumah-rumah penduduk. Sehingga kesan kemegahan
dan keindahan bangunan tersebut sirna. Di samping itu, bangunan
tersebut kurang terawat.
Pengaruh gaya Eropa lainnya adalah pilaster pada dinding-dinding
bangunan, yang membuat dindingnya lebih menarik tidak datar. Gaya
bangunan Eropa juga terlihat jelas pada bentuk pintu dan jendela pada
bangunan bangsal Pringgondani, berukuran lebar dan tinggi serta
penggunaan jalusi sebagai ventilasi udara. Pada bagian atas pintu
terdapat tempat cahaya/udara masuk yang disebut bovenlicht (boven =
atas, licht = cahaya).
Bovenlicht tersebut berupa kerawang dengan motif flora dan fauna,
tetapi objek binatangnya hanya satu dan ukurannya pun kecil. Objek
utamanya berupa bunga berwarna merah yang diletakkan di antara jalinan
batang dan daun berwarna hijau yang melingkar serta meliuk di seluruh
permukaan bidang kerawang. Gaya sulur-suluran tersebut mengingatkan pada
gaya Art Nouveau yang berkembang di Eropa pada abad ke-18.
Bangsal Prabayasa (praba = gemerlapan, yasa = tempat/bangunan) yang
artinya tempat yang paling gemerlapan atau mewah. Pada zaman dahulu
fungsinya sebagai tempat menerima tamu-tamu agung. Bangunan tersebut
ditopang oleh tiang saka dari kayu yang berjumlah empat buah yang
ditempatkan di tengah-tengah ruangan. Tiang saka tersebut diberi hiasan
motif tumpal yang berasal dari Jawa, berwarna emas dipadukan dengan
warna tiangnya yang hijau.
Di bagian pangkal tiang menyangga konstruksi atap Joglo diberi pula
hiasan berwarna-warni yang disebut ganja, terdiri atas warna merah,
hijau, dan emas. Agar stabil dan mencegah rayap, pada bagian bawah tiang
diberi alas batu berbentuk limas terpancung yang disebut umpag.
Umpag-umpag tersebut diberi pula hiasan motif tumpal.
Pengaruh Cina
Pengaruh arsitektur Hindu-Jawa yang jelas menonjol adalah bangunan
Siti Hinggil (siti = tanah, hinggil = tinggi) yang terletak bagian
paling depan kompleks keraton. Siti Hinggil berupa kompleks bangunan
terbuka yang terdiri atas lima buah bangunan panggung tanpa dinding,
yang disebut Candi Bentar dan beratap joglo dari bahan sirap. Seluruh
bangunan terbuat dari konstruksi batu bata seperti lazimnya bangunan
candi Hindu. Sekeliling kompleks diberi pagar dari susunan batu bata
dengan pilar berbentuk menara yang disebut Candi Laras, serta ornamen
kerawang yang berbentuk geometris segidelapan di sepanjang badan pagar.
Kesan bangunan gaya Hindu terlihat kuat terutama pada pintu masuk
menuju kompleks tersebut, yaitu berupa gapura berukuran sama atau
simetris antara bagian sisi kiri dan kanan seolah dibelah. Sehingga ada
yang menyebutnya Candi Belah. Siti Hinggil merupakan hasil direnovasi
pakar Belanda pada tahun 1936. Antara bangsal Prabayasa dan bangsal
Agung terdapat sebuah tangga tembok karena bangsal yang disebutkan
terakhir lantainya lebih tinggi. Ketinggian tersebut sebagai simbol atau
hierarki bagi tempat yang lebih agung atau terhormat karena
diperuntukkan bagi permasyuri dan putra mahkota.
Pada pilar depan dan belakang tangganya diberi hiasan tiga dimensi berbentuk bunga teratai berwarna merah.
Bunga teratai dipercaya sebagai simbol dari kehidupan dan
keabadian, sedangkan warna merah lambang dari darah, kehidupan, maupun
surgawi. Pada dinding kiri dan kanan bangsal Agung yang mengapit tangga
tersebut, terdapat hiasan relief yang menggambarkan kembang kanigaran
(bunga manggis) berwarna merah dan di beberapa bagian diberi warna
kuning sebagai upaya membentuk volume. Kembang -kembang tersebut disusun
berkelompok di tengah dan beberapa lagi disebarkan diseluruh bidang
relief.
Kembang kanigaran sebagai lambang dari kejujuran. Seperti kita
ketahui, isi buah manggis bisa diterka melalui kelopak yang terdapat
pada kulit luarnya. Jika kelopaknya berjumlah lima, isi dari buah
tersebut lima juga. Kemudian di atas susunan bunga terdapat dua buah
manuk genduwong (burung beo) berwarna putih yang ditempatkan di kiri dan
di kanan secara simetris. Seperti kita ketahui, burung beo adalah
burung yang pandai bicara seperti manusia.
Dinding tersebut selain diberi hiasan relief–yang ditempatkan di
tengah-tengah–juga seluruh permukaan dindingnya diberi hiasan tempelan
porselen dari Belanda berukuran kecil 1 10 x 10 cm berwarna biru (blauwe
delft) dan berwarna merah kecoklatan. Pada bagian paling bawah, dari
permukaan lantai bangsal Agung hingga lantai bangsal Prabayasa terdapat
hiasan berbentuk geometris meander berukuran cukup besar. Pada bagian
tengahnya diberi tempelan piring porselen Cina berwarna biru.
Lukisan pada piring tersebut melukiskan seni lukis Cina dengan
teknik perspektif yang bertingkat. Sebenarnya penempelan keramik dan
porselen tersebut juga ditemukan pada seluruh dinding bangsal termasuk
pintu buuk yang terletak di samping bangunan bangsal. Akan tetapi,
polanya berbeda, yaitu diletakan secara miring 45 derajat dan menyebar
dalam jarak tertentu pada seluruh permukaan dinding maupun pilar.
Pengaruh Cina juga terlihat pada ornamen bangunan Kuncung
menyerupai gapura dengan ornamen wadasan (batu cadas) di bagian bawah
sebagai simbol kekuatan dan Megamendung (awan mendung) di bagian
atasnya. Kedua jenis ornamen tersebut simbol dari dunia atas dan bawah.
Di tengah bangunan terdapat pintu gerbang berambang lengkung dengan
ditopang pilar bergaya Eropa, menunjukkan kecenderungan gaya arsitektur
yang beragam dan kompleks.
b. Sejarah Singkat Kerajaan / Kesultanan
Sebelum kita lebih jauh mempelajari tentang sejarah dari keraton
kasepuhan ini , terlebih dahulu kita pelajari sejarah singkat dari kota
Cirebon itu sendiri dan sedilkt mengetahui apa saja upacara adat yang
ada di Cirebon.
Sejarah Kota Cirebon
Mengawali cerita sejarah ini sebagai Purwadaksina, Purwa Kawitan
Daksina Kawekasan, tersebutlah kerajaan besar di kawasan barat pulau
Jawa PAKUAN PAJAJARAN yang Gemah Ripah Repeh Rapih Loh Jinawi Subur Kang
Sarwa Tinandur Murah Kang Sarwa Tinuku, Kaloka Murah Sandang Pangan Lan
Aman Tentrem Kawontenanipun. Dengan Rajanya JAYA DEWATA bergelar SRI
BADUGA MAHARAJA PRABU SILIWANGI Raja Agung, Punjuling Papak, Ugi Sakti
Madraguna, Teguh Totosane Bojona Kulit Mboten Tedas Tapak Paluneng
Pande, Dihormati, disanjung Puja rakyatnya dan disegani oleh
lawan-lawannya.
Raja Jaya Dewata menikah dengan Nyai Subang Larang dikarunia 2
(dua) orang putra dan seorang putri, Pangeran Walangsungsang yang lahir
pertama tahun 1423 Masehi, kedua Nyai Lara Santang lahir tahun 1426
Masehi. Sedangkan Putra yang ketiga Raja Sengara lahir tahun 1428
Masehi. Pada tahun 1442 Masehi Pangeran Walangsungsang menikah dengan
Nyai Endang Geulis Putri Ki Gedheng Danu Warsih dari Pertapaan Gunung
Mara Api.
Mereka singgah di beberapa petapaan antara lain petapaan Ciangkup
di desa Panongan (Sedong), Petapaan Gunung Kumbang di daerah Tegal dan
Petapaan Gunung Cangak di desa Mundu Mesigit, yang terakhir sampe ke
Gunung Amparan Jati dan disanalah bertemu dengan Syekh Datuk Kahfi yang
berasal dari kerajaan Parsi. Ia adalah seorang Guru Agama Islam yang
luhur ilmu dan budi pekertinya.
Pangeran Walangsungsang beserta adiknya Nyai Lara Santang dan
istrinya Nyai Endang Geulis berguru Agama Islam kepada Syekh Nur Jati
dan menetap bersama Ki Gedheng Danusela adik Ki Gedheng Danuwarsih. Oleh
Syekh Nur Jati, Pangeran Walangsungsang diberi nama Somadullah dan
diminta untuk membuka hutan di pinggir Pantai Sebelah Tenggara Gunung
Jati (Lemahwungkuk sekarang). Maka sejak itu berdirilah Dukuh Tegal
Alang-Alang yang kemudian diberi nama Desa Caruban (Campuran) yang
semakin lama menjadi ramai dikunjungi dan dihuni oleh berbagai suku
bangsa untuk berdagang, bertani dan mencari ikan di laut.
Danusela (Ki Gedheng Alang-Alang) oleh masyarakat dipilih sebagai
Kuwu yang pertama dan setelah meninggal pada tahun 1447 Masehi
digantikan oleh Pangeran Walangsungsang sebagai Kuwu Carbon yang kedua
bergelar Pangeran Cakrabuana. Atas petunjuk Syekh Nur Jati, Pangeran
Walangsungsang dan Nyai Lara Santang menunaikan ibadah haji ke Tanah
Suci Mekah.
Pangeran Walangsungsang mendapat gelar Haji Abdullah Iman dan
adiknya Nyai Lara Santang mendapat gelar Hajah Sarifah Mudaim, kemudian
menikah dengan seorang Raja Mesir bernama Syarif Abullah. Dari hasil
perkawinannya dikaruniai 2 (dua) orang putra, yaitu Syarif Hidayatullah
dan Syarif Nurullah. Sekembalinya dari Mekah, Pangeran Cakrabuana
mendirikan Tajug dan Rumah Besar yang diberi nama Jelagrahan, yang
kemudian dikembangkan menjadi Keraton Pakungwati (Keraton Kasepuhan
sekarang) sebagai tempat kediaman bersama Putri Kinasih Nyai Pakungwati.
Stelah Kakek Pangeran Cakrabuana Jumajan Jati Wafat, maka Keratuan di
Singapura tidak dilanjutkan (Singapura terletak + 14 Km sebelah Utara
Pesarean Sunan Gunung Jati) tetapi harta peninggalannya digunakan untuk
bangunan Keraton Pakungwati dan juga membentuk prajurit dengan nama
Dalem Agung Nyi Mas Pakungwati. Prabu Siliwangi melalui utusannya,
Tumenggung Jagabaya dan Raja Sengara (adik Pangeran Walangsungsang),
mengakat Pangeran Carkrabuana menjadi Tumenggung dengan Gelar Sri
Mangana.
Pada Tahun 1470 Masehi Syarif Hiyatullah setelah berguru di Mekah,
Bagdad, Campa dan Samudra Pasai, datang ke Pulau Jawa, mula-mula tiba di
Banten kemudian Jawa Timur dan mendapat kesempatan untuk bermusyawarah
dengan para wali yang dipimpin oleh Sunan Ampel. Musyawarah tersebut
menghasilkan suatu lembaga yang bergerak dalam penyebaran Agama Islam di
Pulau Jawa dengan nama Wali Sanga.
Sebagai anggota dari lembaga tersebut, Syarif Hidayatullah datang
ke Carbon untuk menemui Uwaknya, Tumenggung Sri Mangana (Pangeran
Walangsungsang) untuk mengajarkan Agama Islam di daerah Carbon dan
sekitarnya, maka didirikanlah sebuah padepokan yang disebut pekikiran
(di Gunung Sembung sekarang).
Setelah Suna Ampel wafat tahun 1478 Masehi, maka dalam musyawarah
Wali Sanga di Tuban, Syarif Hidayatullah ditunjuk untuk menggantikan
pimpinan Wali Sanga. Akhirnya pusat kegiatan Wali Sanga dipindahkan dari
Tuban ke Gunung Sembung di Carbon yang kemudian disebut puser bumi
sebagai pusat kegiatan keagamaan, sedangkan sebagai pusat pemerintahan
Kesulatan Cirebon berkedudukan di Keraton Pakungwati dengan sebutan
GERAGE. Pada Tahun 1479 Masehi, Syarif Hidayatullah yang lebih kondang
dengan sebutan Pangeran Sunan Gunung Jati menikah dengan Nyi Mas
Pakungwati Putri Pangeran Cakrabuana dari Nyai Mas Endang Geulis. Sejak
saat itu Pangeran Syarif Hidayatullah dinobatkan sebagai Sultan Carbon I
dan menetap di Keraton Pakungwati.
Sebagaimana lazimnya yang selalu dilakukan oleh Pangeran Cakrabuana
mengirim upeti ke Pakuan Pajajaran, maka pada tahun 1482 Masehi setelah
Syarif Hidayatullah diangkat menajdi Sulatan Carbon membuat maklumat
kepada Raja Pakuan Pajajaran PRABU SILIWANGI untuk tidak mengirim upeti
lagi karena Kesultanan Cirebon sudah menjadi Negara yang Merdeka. Selain
hal tersebut Pangeran Syarif Hidayatullah melalui lembaga Wali Sanga
rela berulangkali memohon Raja Pajajaran untuk berkenan memeluk Agama
Islam tetapi tidak berhasil. Itulah penyebab yang utama mengapa Pangeran
Syarif Hidayatullah menyatakan Cirebon sebagai Negara Merdeka lepas
dari kekuasaan Pakuan Pajajaran.
Peristiwa merdekanya Cirebon keluar dari kekuasaan Pajajaran
tersebut, dicatat dalam sejarah tanggal Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa
Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala, bertepatan dengan 12 Shafar 887
Hijiriah atau 2 April 1482 Masehi yang sekarang diperingati sebagai
hari jadi Kabupaten Cirebon
Sejarah kota Cirebon, istilah “Cirebon” berasal dari kata “Caruban”
yang berarti madani atau campuran. Sesuai dengan artinya Kota Cirebon
bertumbuh dengan beragam budaya yang berkembang di sana. Letak Cirebon
di pesisir pantai utara Jawa menjadikan kota tersebut sebagai kota
pelabuhan yang sangat maju pada abad XTV. Bahkan beberapa catatan
sejarah memberikan keterangan tentang peranan Cirebon sebagai yang
dilalui pelayaran “Jalur Sutra”. Sebagai tempat persimpangan ataupun
persinggahan kapal-kapal asing tentu memberikan pengaruh terhadap
masyarakatnya. Sebab kala itu, banyak pedagang dan saudagar dari
berbagai bangsa yang berbaur dan menetap di kota itu. Kemudian
terciptalah akulturasi budaya.
Selain sebagai jalur internasional, secara geografis Cirebon berada
di antara Jawa Tengah dan Jawa Barat sehingga memungkinkan terciptanya
suatu kebudayaan yang khas, di mana Cirebon berperan sebagai jembatan
antara kebudayaan Jawa dan Sunda.
Pengaruh-pengaruh tersebut memungkinkan terjadinya akulturasi
budaya, baik budaya luar terhadap budaya setempat maupun sebaliknya.
Akulturasi menghasilkan budaya baru di mana jika dibandingkan dengan
budaya asalnya sudah mengalami perubahan. Hal ini menunjukkan keragaman
budaya yang ada di Cirebon. Sebagai contoh yakni beragam bangunan yang
berkembang di Cirebon seperti keraton, kelenteng, masjid, dan beragam
bangunan kuno lainnya memperlihatkan adanya akulturasi budaya tersebut.
Keraton-keraton yang berada di Cirebon telah menjadi saksi sejarah
panjang Kota Cirebon sejak abad 13 hingga sekarang, mulai dari
terbentuknya Kesultanan Cirebon hingga terbagi menjadi empat
kepemimpinan seperti sekarang. Sejarah tersebut dapat terceritakan
kembali secara detail saat kita mengunjungi setiap keraton yang terdapat
di Cirebon. Setiap situs yang tertinggal di keraton-keraton ini
memiliki falsafah yang luhur yang (semestinya) mampu menjadi potensi
filosofis sebuah kota untuk maju dan berkembang.
Namun sangat disayangkan, pada saat ini daerah kesultanan justru
menjadi daerah yang tertinggal dalam hal pengembangan kota. Keraton
menjadi sebuah tengaran (landmark) hanya dalam pengertian tengaran dalam
sejarah panjangnya, namun dalam pengertian fisik bangunan tengaran di
dalam kota, Keraton tidak cukup kuat lagi keberadaannya. Tertutup oleh
bangunan-bangunan lain yang menyembunyikan keberadaan keraton yang
dulunya pusat sebuah kota bernama Cirebon. (Keraton Kasepuhan tertutup
oleh bangunan-bangunan perumahan yang mengelilinginya, Keraton Kanoman
tertutup oleh besarnya Pasar Kanoman yang juga sekaligus menjadi gerbang
masuk utama menuju Keraton Kanoman).
Perkembangan perkotaan yang dirasa semakin tidak terkendali
semestinya dapat dibatasi dengan perencanaan yang turut mendasarkan
perkembangan beberapa bagian wilayah kota pada studi sejarah dari masa
Kesultanan Cirebon hingga menjadi Kota Cirebon seperti sekarang.
Kekuatan dan potensi sejarah mampu menjadi alur yang kuat untuk membawa
pengembangan fisik Kota Cirebon menjadi objek wisata budaya misalkan
seperti Yogyakarta yang mapan dengan Keraton, budaya dan sejarah
lokalnya.
Upacara Adat
Syawalan Gunung Jati
Setiap awal bula syawal masyarakat wilayah Cirebon umumnya
melakukan ziarah ke makam Sunan Gunung Jati. Di samping itu juga untuk
melakukan tahlilan.
Ganti Welit
Upacara yag dilaksanakan setiap tahun di Makam Kramat Trusmi untuk
mengganti atap makam keluarga Ki Buyut Trusmi yang menggunakan Welit
(anyaman daun kelapa). Upacara dilakukan oleh masyarakat Trusmi.
Biasanya dilaksanakan pada tanggal 25 bulan Mulud.
Rajaban
Upacara dan ziarah ke makam Pangeran Panjunan dan Pangeran Kejaksan
di Plangon. Umumnya dihadiri oleh para kerabat dari keturunan dari
kedua Pangeran tersebut. Dilaksanakan setiap 27 Rajab. Terletak di obyek
wisata Plangon Kelurahan Babakan Kecamatan Sumber kurang lebih 1 Km
dari pusat kota Sumber.
Ganti Sirap
Upacara yang dilaksanakan setiap 4 tahun sekali di makam kramat Ki
Buyut Trusmi untuk mengganti atap makam yang menggunakan Sirap. Biasanya
dimeriahkan dengan pertunjukan wayang Kulit dan Terbang.
Muludan
Upacara adat yang dilaksanakan setiap bulan Mulud (Maulud) di Makam
Sunan Gunung Jati. Yaitu kegiatan membersihkan / mencuci Pusaka Keraton
yang dikenal dengan istilah Panjang Jimat. Kegiatan ini dilaksanakan
pada tanggal 8 s/d 12 Mulud. Sedangkan pusat kegiatan dilaksanakan di
Keraton.
Salawean Trusmi
Salah satu kegiatan ziarah yang dilaksanakan di Makam Ki Buyut
Trusmi. Di samping itu juga dilaksanakan tahlilan. Kegiatan ini
dilaksanakan setiap tanggal 25 bulan Mulud.
Nadran
Nadran atau pesta laut seperti umumnya dilaksanakan oleh nelayan
dengan tujuan untuk keselamatan dan upacara terima kasih kepada Sang
Pencipta yang telah memberikan rezeki. Dilaksanakan dihampir sepanjang
pantai (tempat berlabuh nelayan) dengan waktu kegiatan bervariasi.
Sejarah Keraton Kasepuhan Cirebom
Pangeran Sri Mangana Cakrabuana, putra Prabu Siliwangi dari
Kerajaan Padjajaran Bogor, tercatat sebagai pendiri Keraton Pakungwati
sekitar tahun 1480 M. Kedudukannya sebagai putra mahkota dan tumenggung
di Cirebon tak membuatnya ragu untuk memisahkan diri dari Kerajaan
Padjajaran. Keputusan tersebut diambil agar beliau lebih leluasa
mengembangkan agama Islam dan sekaligus terbebas dari pengaruh agama
Hindu, agama resmi Kerajaan Padjajaran.
Keraton Kasepuhan didirikan pada tahun 1529 oleh Pangeran Mas
Mochammad Arifin II (cicit dari Sunan Gunung Jati) yang menggantikan
tahta dari Sunan Gunung Jati pada tahun 1506, beliau bersemayam di dalem
Agung Pakungwati Cirebon.Keraton Kasepuhan dulunya bernama Keraton
Pakungwati, sedangkan Pangeran Mas Mochammad Arifin bergelar Panembahan
Pakungwati I. Dan sebutan Pakungwati berasal dari nama Ratu Dewi
Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan Syarif
Hidayatullah, atau yang lebih populer dengan nama Sunan Gunung Djati.
Setelah Pangeran Cakrabuana mangkat, Sunan Gunung Djati naik tahta pada
tahun 1483 M. Selain sebagai seorang pemimpin yang disegani, Sunan
Gunung Djati juga dikenal sebagai seorang ulama terkemuka di Cirebon.
Pada tahun 1568 M Sunan Gunung Djati wafat. Kemudian, posisinya
digantikan oleh cucunya, Pangeran Emas yang bergelar Panembahan Ratu.
Pada masa Pangeran Emas inilah dibangun keraton baru di sebelah barat
Dalem Agung yang diberi nama Keraton Pakungwati. Sejak tahun 1697 M,
Keraton Pakungwati lebih dikenal dengan nama Keraton Kasepuhan dan
sultannya bergelar Sultan Sepuh.
Pada tahun 1988, untuk menjaga dan melindungi
keaslian keraton, terutama koleksi benda-benda kuno peninggalan
Kesultanan Cirebon, dua ruangan yang berada di bagian depan Keraton
Kasepuhan dijadikan museum yang dapat dikunjungi oleh masyarakat luas.
SILSILAH SULTAN KASEPUHAN CIREBON
1. Pangeran Pasarean
2. Pangeran di Jati Carbon
3. Panembahan Ratu
4. Pangeran di Jati Carbon
5. Panembahan Girilaya
6. Sultan Raja Syamsudin
7. Sultan Raja Tajularipin Jamaludin
8. Sultan Sejuh Raja Jaenudin
9. Sultan Sepuh Raja Suna Moh Jaenudin
10. Sultan Sejuh Safidin Matangaji
11. Sultan Sejuh Hasanudin
12. Sultan Sepuh I
13. Sultan Sejuh Raja Samsudin I
14. Sultan Sejuh Raja Samsudin II
15. Sultan Sepuh Raja Ningrat
16. Sultan Sepuh Jamaludin Aluda
17. Sultan Sejuh Raja Rajaningrat
18. Sultan Pangeran Raja Adipati H. Maulana Pakuningrat, SH
19. Sultan Pangeran Raja Adipati Arif Natadiningrat
2. Pangeran di Jati Carbon
3. Panembahan Ratu
4. Pangeran di Jati Carbon
5. Panembahan Girilaya
6. Sultan Raja Syamsudin
7. Sultan Raja Tajularipin Jamaludin
8. Sultan Sejuh Raja Jaenudin
9. Sultan Sepuh Raja Suna Moh Jaenudin
10. Sultan Sejuh Safidin Matangaji
11. Sultan Sejuh Hasanudin
12. Sultan Sepuh I
13. Sultan Sejuh Raja Samsudin I
14. Sultan Sejuh Raja Samsudin II
15. Sultan Sepuh Raja Ningrat
16. Sultan Sepuh Jamaludin Aluda
17. Sultan Sejuh Raja Rajaningrat
18. Sultan Pangeran Raja Adipati H. Maulana Pakuningrat, SH
19. Sultan Pangeran Raja Adipati Arif Natadiningrat
c. Koleksi Sejarah Yang dimiliki
Cirebon adalah salah satu kota di Jawa Barat yang masih menyimpan
beragam artefak khususnya di Keraton Kasepuhan, di mana keraton tersebut
sudah berusia raru-saiL.tahun, Balikan Keraton Kasepuhan merupakan
cikal bakal perkembangan Islam di wilayah Jawa Barat. Beragam artefak
yang terdapat di situ dapat memberikan inspirasi bagi masyarakat modern
tentang pluralisme.
Mengunjungi Keraton Kasepuhan seakan-akan mengunjungi Kota Cirebon
tempo dulu. Keberadaan Keraton Kasepuhan juga kian mengukuhkan bahwa di
kota Cirebon pernah terjadi akulturasi.
Akulturasi yang terjadi tidak saja antara kebudayaan Jawa dengan
kebudayaan Sunda, tapi juga dengan berbagai kebudayaan di dunia, seperti
Cina,India, Arab, dan Eropa seperti yng sudah di jelaskan di atas. Hal
inilah yang membentuk identitas dan tipikal masyarakat Cirebon dewasa
ini, yang bukan Jawa dan juga bukan Sunda.
Kesan tersebut sudah terasa sedari awal memasuki lokasi keraton.
Keberadaan dua patung macan putih di gerbangnya, selain melambangkan
bahwa Kesultanan Cirebon merupakan penerus Kerajaan Padjajaran, juga
memperlihatkan pengaruh agama Hindu sebagai agama resmi Kerajaan
Padjajaran. Gerbangnya yang menyerupai pura di Bali, ukiran daun pintu
gapuranya yang bergaya Eropa, pagar Siti Hingilnya dari keramik Cina,
dan tembok yang mengelilingi keraton terbuat dari bata merah khas
arsitektur Jawa, merupakan bukti lain terjadinya akulturasi.
Nuansa akulturasi kian kentara ketika memasuki ruang depannya yang
berfungsi sebagai museum. Selain berisi berbagai pernak-pernik khas
kerajaan Jawa pada umumnya, seperti kereta kencana singa barong, dua
tandu kuno, dan berbagai jenis senjata pusaka berusia ratusan tahun, di
museum ini pengunjung juga dapat melihat berbagai koleksi cinderamata
berupa perhiasan dan senjata dari luar negeri, seperti senapan Mesir,
meriam Mongol, dan zirah Portugis, tandu permaisuri dan relief kayu yang
menggambarkan persenggamaan antara laki-laki dan perempuan yang
melambangkan kesuburan. Dalam kaitan ini, kita bisa melihat bagaimana
pengaruh tradisi Hindu-Budha dalam sejarah pra-kolonial Jawa masih
bertahan di dalam era kekuasaan raja-raja Islam di Jawa.
Meriam portugis yang menjadi bagian koleksi museum kraton kasepuhan
juga menunjukkan bagaimana hubungan sultan Cirebon tersebut dengan
kekuatan maritim Eropa yang mulai merambah jalur perdagangan
rempah-rempah di Nusantara pada abad 16 dan koleksi penting lainnya
dalam museum kraton kasepuhan adalah apa yang dikenal sekarang sebagai
topeng Cirebon. Topeng ini adalah koleksi yang berasal dari periode
Sunan Gunung Jati ini mewakili sebuah cerita tentang bagaimana seni
lokal digunakan sebagai alat penyebaran agama Islam di wilayah Jawa
Barat, yang dapat dibandingkan dengan penggunaan medium wayang oleh
Sunan Kalijaga di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Singgasana raja yang terbuat dari kayu sederhana dengan latar
sembilan warna bendera yang melambangkan Wali Songo. Hal ini membuktikan
bahwa Kesultanan Cirebon juga terpengaruh oleh budaya Jawa dan agama
Islam.
Selain itu, di halaman belakang pengunjung dapat melihat taman
istana dan beberapa sumur dari mata air yang dianggap keramat dan
membawa berkah.
Kawasan ini ramai dikunjungi peziarah pada upacara panjang jimat
yang digelar pihak keraton setiap tahun untuk memperingati Maulid Nabi
Muhammad SAW.
Gambar berikut menunjukkan koleksi alat-alat musik degung milik
kraton kasepuhan yang merupakan hadiah dari sultan Banten yang
menunjukkan hubungan penguasa Cirebon dengan penguasa Banten saat itu
yang sama-sama didirikan pada masa kejayaan penguasa-penguasa Islam di
Jawa. Di dalam deretan perlengkapan alat musik tersebut, terdapat alat
musik rebana peninggalan sunan Kalijaga. Di sini kita bisa melihat
percampuran antara tradisi Arab dan Jawa berpadu dalam proses penyebaran
agama Islam di Jawa pada masa itu.
Bangunan di bagian dalam keraton Kasepuhan sangat indah dan masih
terawat dengan baik. Kursi-kursi kayu jati berukir warna kuning gading
berjajar rapi, dengan lampu-lampu kristal dan dinding berukir indah. Di
bagian dalam terdapat dinding dengan ukiran bunga teratai merah.
Dihalaman depan terdapat lukisan yang menggambarkan macan
putih yang juga melambangkan kerajaan silihwangi. Dan gambar yang kedua
yaitu Prabu silihwangi bersama dengan macan putih.
Kereta Kencana Singa Barong, kereta ini merupakan kereta hybrida
budaya, yaitu Islam, Hindu dan Cina. Islam diwakili dengan sayap
(implementasi dari bouraq, burung tunggangan Nabi Muhammad
dalam peristiwa Isra’ Mi’raj), Hindu diwakili dengan gajah (ganesha) dan
Cina diwakili dengan naga (walaupun yang terlihat hanya tanduknya
saja), oleh karena itu namanya Paksi (burung) Naga (naga) Liman (gajah).
Keraton Kasepuhan dikelilingi pagar dan gapura yang terbuat dari
susunan bata merah. Arsitektur gapura Keraton Kasepuhan memiliki
kemiripan dengan candi-candi peninggalan Kerajaan Majapahit yang
terdapat di Trowulan, Mojokerto.. Dinding dan gapura bata merah ini
dibangun tanpa menggunakan semen.
Di halaman depan terdapat patung sepasang harimau berwarna putih,
yang merupakan lambang kerajaan Prabu Siliwangi. Bendera dan lambang
kerajaan Cirebon sebelum zaman penjajahan berupa kaligrafi yang juga
berbentuk harimau, bernama Macan Ali.
Menjelang perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW / 1 Syawal, berbagai
rangkaian prosesi ritual di gelar di Keraton Kanoman Cirebon. Yaitu
ritual penyucian benda-benda pusaka, lukisan, serta kereta paksi naga
liman atau kereta kencana Singa Barong.
Didepan dari Kraton kasepuhan terdapat alun-alun yang dahulunya
dilaksanakan berbagai macam hukuman kepada rakyatnya melanggar peraturan
seperti hukuman cambuk hingga mati.
d. Peranan Raja/Sultan/Sunan Pada Dewasa Ini
Sejarah
Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah
Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada
awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa,
yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi
nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di sana bercampur para
pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat,
dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau
berdagang.
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat
adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan
rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis,
dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari
udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air
rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari
pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah
satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan
pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian
dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat
penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
Terpecahnya Kesultanan Cirebon
Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan
penguasa. Sultan Ageng Tirtayasa segera menobatkan Pangeran Wangsakerta
sebagai pengganti Panembahan Girilaya, atas tanggung jawab pihak Banten.
Sultan Ageng Tirtayasa kemudian mengirimkan pasukan dan kapal perang
untuk membantu Trunojoyo, yang saat itu sedang memerangi Amangkurat I
dari Mataram. Dengan bantuan Trunojoyo, maka kedua putra Panembahan
Girilaya yang ditahan akhirnya dapat dibebaskan dan dibawa kembali ke
Cirebon untuk kemudian juga dinobatkan sebagai penguasa Kesultanan
Cirebon.
Perpecahan I (1677).
Pembagian pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian
terjadi pada masa penobatan tiga orang putra Panembahan Girilaya, yaitu
Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini
merupakan babak baru bagi keraton Cirebon, dimana kesultanan terpecah
menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para sultan
berikutnya. Dengan demikian, para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya
adalah:
Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)
Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723).
Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar
Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati
(1677-1713).
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra
tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa,
karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di ibukota Banten.
Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan
keraton masing-masing.
Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya
Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri,
akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan (paguron), yaitu tempat belajar
para intelektual keraton. Dalam tradisi kesultanan di Cirebon, suksesi
kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan tradisi keraton, di
mana seorang sultan akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki
tertua dari permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari cucu atau
cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain yang dapat memangku jabatan itu
sebagai pejabat sementara.
Perpecahan II (1807).
Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar,
sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803), dimana terjadi
perpecahan karena salah seorang putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman,
ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama
Kesultanan Kacirebonan.
Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial
Belanda dengan keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat keputusan)
Gubernur-Jendral Hindia Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman
menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan bahwa
putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan
gelar pangeran. Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa
lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman.
Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV yang
lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811).
Masa kolonial dan kemerdekaan
Sesudah kejadian tersebut, pemerintah Kolonial Belanda pun semakin
dalam ikut campur dalam mengatur Cirebon, sehingga semakin surutlah
peranan dari keraton-keraton Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah
kekuasaannya. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, dimana
kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan
disahkannya Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon), yang mencakup luas 1.100
Hektar, dengan penduduk sekitar 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan
Stlb. 1926 No. 370). Tahun 1942, Kota Cirebon kembali diperluas menjadi
2.450 hektar.
Pada masa kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara
umum, wilayah Kesultanan Cirebon tercakup dalam Kota Cirebon dan
Kabupaten Cirebon, yang secara administratif masing-masing dipimpin oleh
pejabat pemerintah Indonesia yaitu walikota dan bupati.
Perkembangan terakhir
Setelah masa kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Cirebon tidak lagi
merupakan pusat dari pemerintahan dan pengembangan agama Islam. Meskipun
demikian keraton-keraton yang ada tetap menjalankan perannya sebagai
pusat kebudayaan masyarakat khususnya di wilayah Cirebon dan sekitarnya.
Kesultanan Cirebon turut serta dalam berbagai upacara dan perayaan adat
masyarakat dan telah beberapa kali ambil bagian dalam Festival Keraton
Nusantara (FKN).
Umumnya, Keraton Kasepuhan sebagai istana Sultan Sepuh dianggap
yang paling penting karena merupakan keraton tertua yang berdiri tahun
1529, sedangkan Keraton Kanoman sebagai istana Sultan Anom berdiri tahun
1622, dan yang terkemudian adalah Keraton Kacirebonan dan Keraton
Kaprabonan.
Pada awal bulan Maret 2003, telah terjadi konflik internal di
keraton Kanoman, antara Pangeran Raja Muhammad Emirudin dan Pangeran
Elang Muhammad Saladin, untuk pengangkatan tahta Sultan Kanoman XII.
Pelantikan kedua sultan ini diperkirakan menimbulkan perpecahan di
kalangan kerabat keraton tersebut.
Jadi intinya peranannya sekarang raja cuma menjadi ikon saja dan
menjadi seseorang yang punya pengaruh yang sangat besar dalam
perkembangan dari mulai sejarah hingga perkembangan akhir ,namun tidak
lagi memiliki kekuasaan sepenuhnya seperti yang sudah di jelaskan di
atas “Setelah masa kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Cirebon tidak lagi
merupakan pusat dari pemerintahan dan pengembangan agama Islam. Meskipun
demikian keraton-keraton yang ada tetap menjalankan perannya sebagai
pusat kebudayaan masyarakat khususnya di wilayah Cirebon dan
sekitarnya.”