SUNAN BONANG, WALI YANG MEMBUJANG DENGAN EMPAT MAKAM :WALISANGA, ZIARAH PUSTAKA
Sumber : Majalah Intisari Februari 2006
Mereka yang melacak jejak Sunan Bonang setidaknya akan mendapatkan
tiga lokasi pemakaman, yang jika para juru kuncinya ditanggapi
terlalu serius, tentu akan menjadi bingung - karena tiada cara untuk
membuktikan kesahihannya.
Kerancuan ini disebabkan antara lain karena sejak awal tidak
terbedakan, mana yang makam dan mana yang petilasan: tempat para
wali pernah tinggal, mengajar, atau sekadar lewat saja. Meski
begitu, petilasan boleh dianggap tak kalah penting dengan makam,
karena makam sebetulnya hanyalah tempat para beliau dikubur,
sedangkan petilasan justru merupakan atmosfer lingkungan hidup
seorang wali ratusan tahun silam.
Apabila petilasan yang menjadi ukuran, maka jumlah lokasi yang
terhubungkan dengan Sunan Bonang menjadi empat.
Kisah empat lokasi
Lokasi pertama, dan yang paling populer, adalah makam di belakang
Mesjid Agung Tuban. Barang siapa berkunjung ke sana akan melihat
suatu kontras, antara Mesjid Agung Tuban yang arsitekturnya megah
dan berwarna-warni itu, dengan astana masjid Sunan Bonang di
belakangnya yang sederhana. Di dekat astana mesjid yang mungil
itulah terletak makam Sunan Bonang. Untuk mencapai tempat itu kita
harus menyusuri gang sempit di samping mesjid besar, bagaikan
perlambang atas keterpinggiran alam mistik dalam kehidupan pragmatik
masa kini.
Lokasi kedua adalah petilasan di sebuah bukit di pantai utara Jawa,
antara Rembang dan Lasem, tempat yang dikenal sebagai mBonang, dan
dari sanalah memang ternisbahkan nama sang sunan. Di kaki bukit itu
konon juga terdapat makam Sunan Bonang, tanpa cungkup dan tanpa
nisan, hanya tertandai oleh tanaman bunga melati. Namun atraksi
utama justru di atas bukit, tempat terdapatnya batu yang digunakan
sebagai alas untuk shalat - di batu itu terdapat jejak kaki Sunan
Bonang, konon kesaktiannya membuat batu itu melesak.
Situs ini berdampingan dengan makam Putri Cempo (Cempa, Campa) dan
ini terjelaskan oleh cerita tutur bahwa Sunan Bonang adalah putra
Sunan Ngampel Denta yang berasal dari Cempa tersebut - seperti
teruraikan dalam Intisari bulan lalu. Sunan Bonang telah memindahkan
makam putri Darawati atau Andarawati yang merupakan maktuanya
tersebut dari makam lama di Citra Wulan (bertarikh Jawa 1370 alias
1448 Masehi, mungkin maksudnya di wilayah ibukota Majapahit) ke
Karang Kemuning, Bonang, tak dijelaskan kenapa. Namun keterangan ini
muncul sebagai catatan kaki atas cerita tentang perampasan barang-
barang berharga Demak ketika direbut Mataram, dalam Kerajaan-
Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram (1974)
karya Graaf dan Pigeaud.
Lokasi ketiga adalah makam Sunan Bonang di Tambak Kramat, Pulau
Bawean. Ketika Intisari melacak ke pulau terpencil antara Jawa dan
Kalimantan tersebut, terdapat dua makam Sunan Bonang di tepi pantai -
dan tiada cara untuk memastikan mana yang lebih masuk akal, meski
untuk sekadar "dikira" sebagai makam Sunan Bonang. Salah satu makam
memang tampak lebih terurus, karena dibuatkan "rumah" dan diberi
kelambu - sedang makam satunya masih harus bersaing pengakuan dengan
spekulasi lain bahwa itu sebenarnya makam seorang pelaut dari
Sulawesi yang kapalnya karam di sekitar Bawean.
Dengan begitu, sudah terdapat tiga situs yang disebut sebagai makam
Sunan Bonang. Tentang makam di Bawean terdapat legenda yang bisa
diikuti dari Islamisasi di Jawa: Walisongo, Penyebar Islam di Jawa,
Menurut Penuturan Babad (2000) karya Ridin Sofwan, Wasit, dan
Mundiri. Konon setelah Sunan Bonang wafat di Bawean, murid-muridnya
di Tuban menghendaki agar Sunan Bonang dimakamkan di Tuban, tetapi
para santri di Bawean berpendapat sebaiknya dimakamkan di Bawean
saja, mengingat lamanya perjalanan menyeberangi laut. Syahdan, para
penjaga jenazah di Bawean telah disirep (ditidurkan dengan mantra)
oleh mereka yang datang Bawean telah disirep (ditidurkan dengan
mantra) oleh mereka yang datangmalam hari dari Tuban.
Dikisahkan betapa kuburan dibongkar {versi lain, dalam Misteri Syekh
Siti Jenar: Peranan Walisongo dalam Mengislamkan Tanah Jawa (2004)
karya Hasanu Simon, jenazah masih di tengah ruangan dan jenazah
dibawa berlayar ke Tuban malam itu juga, untuk dimakamkan di dekat
astana mesjid Sunan Bonang. Meskipun begitu, menurut para santri
Bawean, yang berhasil dibawa ke Tuban sebetulnya hanyalah salah satu
kain kafan; sebaliknya menurut para santri Tuban, yang terkubur di
Bawean juga hanyalah salah satu kain kafan.
Lokasi keempat adalah sebuah tempat bernama Singkal di tepi Sungai
Brantas di Kediri. Konon dari tempat itu, seperti dituturkan dalam
Babad Kadhiri, Sunan Bonang melancarkan dakwah tetapi gagal
mengislamkan Kediri. Ketika laskar Belanda-Jawa pada 1678 menyerang
pasukan Trunajaya di daerah itu, mereka menemukan mesjid yang
digunakan sebagai gudang mesiu, seperti dilaporkan Antonio Hurdt.
Menurut Graaf dan Pigeaud, "Adanya mesjid yang cukup penting di
Singkal pada abad ke-17 menyebabkan legenda yang mengisahkan tempat
itu sebagai pusat propaganda agama Islam pada permulaan abad ke-16
menjadi agak lebih dapat dipercaya." Tentang Babad Kadhiri itu
sendiri, yang disebutkan telah dibicarakan G.W.J. Drewes, dianggap
Graaf dan Pigeaud sebagai "kurang penting bagi sejarawan, yang
mencari peristiwa-peristiwa yang serba pasti."
Meskipun Hasanu Simon meragukan Sunan Bonang pernah pergi ke Bawean,
berdasarkan faktor usia dan kesulitan perjalanan masa lalu,
tersebutnya Sunan Bonang di berbagai tempat ini membenarkan penemuan
Graaf dan Pigeaud. "Menurut cerita, Wali Lanang di Malaka memberikan
tugas-tugas berbeda tetapi senada kepada kedua muridnya: Santri
Bonang pada umumnya harus menyebarkan (dan memang, kenyataannya
kelak Sunan Bonang banyak menjelajahi daerah-daerah), tetapi Raden
Paku harus menetap di Giri (dan tentang dia tidak diberitakan
perjalanan-perjalanan jauh)." Kedua sejarawan ini juga sama sekali
tidak menghubungkan Sunan Bonang dengan Bawean.
Siapakah Sunan Bonang?
Berdasarkan cerita tutur dari berbagai sumber tersebutkan Sunan
Bonang adalah putra Sunan Ngampel Denta dari istrinya yang bernama
Nyai Ageng Manila (sumber lain menyebut Dewi Candrawati, putri dari
Majapahit), dan kelak ia menjadi imam yang pertama di Mesjid Demak.
Diperkirakan lahir antara 1440 atau 1465, dan meninggal 1525, masa
pelajaran ditempuh di bawah ayahnya, dengan saudara seperguruan
Raden Paku yang kelak menjadi Sunan Giri. Namanya sendiri adalah
Makdum Ibrahim dan karena tidak pernah menikah, atau setidaknya tak
berputra, ia juga disebut Sunan Wadat Anyakra Wati.
Konon ia dan Raden Paku bermaksud naik haji ke Mekah, dan sebelumnya
berguru kepada Abdulisbar atau Dulislam di Pasai (versi lain Wali
Lanang, kali ini ayah Raden Paku, di Malaka), tetapi yang kemudian
diminta kembali ke Jawa oleh gurunya. Menurut Abdul Hadi WM dalam
Sunan Bonang, Perintis dan Pendekar Sastra Suluk (1993), "Pada tahun
1503, setelah beberapa tahun jabatan imam mesjid dipegangnya, dia
berselisih paham dengan Sultan Demak dan meletakkan jabatan, lalu
pindah ke Lasem. Di situ dia memilih Desa Bonang sebagai tempat
tinggalnya. Di Bonang dia mendirikan pesantren dan pesujudan (tempat
tafakur), sebelum akhirnya kembali ke kampung halamannya, Tuban."
Sangat terkenal kisahnya sebagai wali yang memberikan Raden Sahid
alias Brandal Lokajaya suatu pencerahan, sehingga kelak menjadi
pendakwah sinkretik ulung bernama Sunan Kalijaga. Namun dalam Serat
Dermagandul yang baru ditulis tahun 1879, yang bersikap negatif
terhadap para wali, seperti diteliti Denys Lombard dalam Nusa Jawa,
Silang Budaya 2: Jaringan Asia (1990), Sunan Bonang "digambarkan
sebagai tokoh kasar dan tidak tahu malu." Tentu saja ini bagian
dari "politik dongeng" yang sering bisa dilacak atas berbagai
legenda, mengingat tokoh Sabdopalon dan Nayagenggong dalam karya itu
digambarkan menolak masuk Islam.
Sementara itu, sejauh cerita yang menyebut Sunan Bonang sebagai
putra Sunan Ngampel Denta bisa dipercaya, Sunan Bonang tentu
tergolong keturunan orang Cam - tepatnya keturunan orang asing yang
menyebarkan Islam di Jawa. Mungkinkah ini yang membuat orang
berspekulasi bahwa nama Sunan Bonang berasal dari Lim Bun An bahkan
juga Bong Ang atau Bong Bing Nang, sementara Sunan Ngampel Denta
tersebut sebagai Bong Swie Hoo? Tentu maksudnya bahwa para wali ini
adalah keturunan Tionghoa, seperti disebut tanpa argumentasi
meyakinkan dalam Tuanku Rao (1964) oleh Mangaraja Onggang
Parlindungan maupun dalam Kalidjaga (1956) oleh Hadiwidjaja.
Spekulasi ini hanya meyakinkan sejauh menyangkut Raden Patah, sultan
Demak yang pertama, seperti terbahas dalam Arus Cina-Islam-Jawa:
Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam
di Nusantara Abad XV & XVI (2003) karya Sumanto Al Qurtuby. Tentang
para wali, jangankan sebagai keturunan Tionghoa, sedangkan
keberadaan mereka secara historik saja hanya bisa dibeberkan dengan
spekulasi yang sangat hati-hati, melalui analisis teliti terhadap
sumber-sumber yang nyaris merupakan dongeng. Para sejarawan lebih
cenderung merujukkan cerita tentang ketionghoaan itu, untuk menafsir
fakta keberadaan komunitas Muslim Tionghoa, yang sudah bertebaran di
berbagai daerah pantai di Jawa Timur sejak abad ke-15. Hilda
Soemantri dalam Majapahit Terracotta Art (1997) misalnya menunjuk
keramik "orang berturban" di antara keramik "orang
Tartar", "Tionghoa tertawa", maupun "Tionghoa bertopi", yang
menunjukkan ketertarikan para seniman keramik Majapahit kepada orang-
orang asing, termasuk yang beragama Muslim, di daerah pantai.
Ini tentu saja mendukung "teori Cina" sebagai salah satu teori
tentang kedatangan Islam di Pulau Jawa, terutama melalui Tuban dan
Gresik. Pengembara dari Tiongkok, Ma Huan, mencatat adanya Xin Cun
(Kampung Baru) di Gresik yang berpenduduk seribu orang Tionghoa asal
Guangdong dan Zhangzhou. Sebegitu jauh, pelacakan atas keberadaan
Sunan Ngampel Denta, yang disebut sebagai ayah Sunan Bonang, hanya
terujuk kepada keberadaan bangsa Cam dan terdapatnya poros Jawa
Timur-Campa - dan kitab seperti Serat Dermagandul adalah
bentuk "perlawanan" kepercayaan lama setelah Islam menjadi dominan
di Jawa pada abad ke-19.
Tentang "kitab Bonang"
Sarjana Belanda B.Schrieke menulis tesis Het Boek van Bonang pada
1916, seperti mengandaikan bahwa manuskrip yang dibahasnya adalah
karya atau ajaran Sunan Bonang. Sayang sekali bahwa penamaan "Kitab
Bonang" itu tidak dianggap tepat, juga oleh Graaf dan Pigeaud,
karena tidak ada bukti meyakinkan bahwa naskah itu memang ditulis
oleh Sunan Bonang. Meski begitu, disetujui bahwa manuskrip tersebut
memberi gambaran tentang ajaran Islam macam apa yang dominan
didakwahkan pada abad ke-16, jadi mungkin pula diajarkan seorang
wali seperti Sunan Bonang, sebagai pengenalan pertama kepada orang-
orang yang jika tidak memeluk agama Buddha atau Hindu, tentu memeluk
kepercayaan sebelum agama besar yang mana pun tiba di Jawa.
Tesis Schrieke itu kemudian dikoreksi oleh Drewes, dan diberi
terjemahan bahasa Inggris sebagai The Admonitions of Seh Bari
(1969). Manuskrip yang dimaksud, seperti diuraikan Abdul Hadi WM,
rupanya terdiri dari sejumlah suluk - suatu genre dalam kesusastraan
Jawa, Sunda, dan Madura yang memang muncul pertama kali abad ke-15
bersama penyebaran Islam. Bukan kebetulan agaknya, karena suluk
berarti jalan kerohanian, isinya adalah ajaran-ajaran tasawuf. Dalam
hal manuskrip terbincangkan ini, khususnya yang berjudul Suluk Wujil
(koreksian Purbatjaraka terhadap Schrieke yang menyebutnya Suluk
Dulil), disebutkan Purbatjaraka sebagai ajaran rahasia untuk orang-
orang tertentu saja. Rahasia artinya tidak begitu saja bisa
dipahami, seperti dapat diperiksa dari kutipan-kutipan berikut:
"Tak ada orang tahu di mana Mekkah yang hakiki berada, sekalipun
mereka melakukan perjalanan sejak muda hingga tua renta. Mereka tak
akan sampai ke tujuan. Kecuali apabila seseorang mempunyai bekal
ilmu yang cukup, ia akan dapat sampai di Mekkah dan malahan sesudah
itu akan menjadi wali.
"Apabila seseorang sembahyang di sana, maka hanya ada ruangan untuk
satu orang saja. Jika ada dua atau tiga orang yang bersembahyang,
maka ruangan itu juga akan cukup untuk dua tiga orang itu saja.
Namun jika terdapat 10.000 orang bersembahyang di sana, maka Ka'bah
dapat menampung mereka semua. Bahkan seandainya seluruh dunia akan
dimasukkan ke sana, maka seluruh dunia akan tertampung juga."
Teks seperti ini, disebutkan Abdul Hadi WM sebagai, "... kerap
menimbulkan persoalan. Baik golongan kebatinan maupun ortodoks
jarang dapat memberi tafsir yang sesuai dan bermanfaat terhadap
hakikat ajaran para sufi." Manuskrip ini disalah tafsirkan Schrieke
sebagai karya Sunan Bonang, kemungkinan besar karena tokoh bernama
Sunan Bonang muncul dalam Suluk Wujil, sebagai guru tasawuf tokoh
Wujil yang berarti cebol. Purbatjaraka dalam Kepustakaan Djawa
(1952) menduga karya itu ditulis oleh "sastrawan Jawa yang menjadi
murid sang wali". Sementara berdasarkan penelitiannya, menurut
Drewes penulisnya adalah Seh Bari dari Karang, daerah Banten.
Terutama dalam suluk tersebut, unsur-unsur kerohanian Jawa klasik
dan tasawuf Islam terpadukan. Kisahnya sendiri mewadahi gagasan
zaman peralihan: Wujil, seorang terpelajar Majapahit yang
meninggalkan aga Hindu dan beralih menjadi penganut Islam.
Dengan demikian, meski dari sudut ilmu sejarah tidak bisa dipastikan
bahwa Sunan Bonang yang menulis Suluk Wujil, dari manuskrip tersebut
tergambarkan segi-segi wajd (ekstase mistis) dan kasyf
(tersingkapnya mata batin) yang akan membawa seseorang kepada
kesadaran supralogis, atau bisa disebut dimensi mistik, yang layak
diduga sebagai daya tarik bagi orang-orang Jawa abad ke-15 dan 16
untuk menerima Islam.